Kehutanan

Hutan dan Masa Depan Iklim Global: Dari Penyerap Karbon hingga Penyelamat Kehidupan

Hutan dan Masa Depan Iklim Global: Dari Penyerap Karbon hingga Penyelamat Kehidupan

Rumah TaniPerubahan iklim merupakan salah satu tantangan terbesar abad ke-21 yang mengancam keseimbangan sistem kehidupan di bumi. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida (CO₂), telah menyebabkan kenaikan suhu global, perubahan pola cuaca ekstrem, dan degradasi ekosistem secara luas. Dalam konteks ini, hutan memiliki peran vital sebagai salah satu komponen utama dalam sistem penyeimbang iklim global. Melalui kemampuan biologisnya untuk menyerap dan menyimpan karbon, hutan berfungsi sebagai penyangga alami yang menahan laju akumulasi CO₂ di atmosfer.

Namun, tekanan terhadap ekosistem hutan terus meningkat akibat deforestasi, degradasi lahan, serta perubahan penggunaan lahan yang masif. Kondisi ini tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga mengurangi kapasitas hutan dalam menjalankan fungsi ekologisnya sebagai penyerap karbon bersih. Di sisi lain, negara-negara tropis seperti Indonesia memiliki tanggung jawab sekaligus peluang besar dalam upaya mitigasi perubahan iklim global melalui pengelolaan hutan yang berkelanjutan.

Fakta Ilmiah tentang Peran Hutan dalam Penyerapan Karbon Dioksida (CO₂) Global

Hutan memiliki fungsi ekologis yang sangat penting sebagai pengatur termal alami (natural thermostat) bagi sistem iklim global. Melalui proses fotosintesis, pepohonan dan vegetasi hutan menyerap karbon dioksida (CO₂) dari atmosfer, kemudian mengubahnya menjadi biomassa yang tersimpan dalam berbagai komponen vegetatif seperti batang, daun, dan akar. Selain itu, sebagian besar karbon juga disimpan secara jangka panjang di dalam tanah melalui akumulasi bahan organik dan aktivitas mikroorganisme. Dengan demikian, hutan berperan ganda, yaitu sebagai penyerap karbon (carbon sink) sekaligus penyimpan karbon (carbon storage) yang berfungsi menyeimbangkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer (Yusna, 2022).

1. Peran Hutan sebagai Penyerap Karbon Global

Secara global, ekosistem hutan berperan sebagai penyerap karbon bersih (net carbon sink), yang berarti total jumlah karbon yang diserap melebihi jumlah karbon yang dilepaskan kembali ke atmosfer. Berdasarkan estimasi terkini, hutan di seluruh dunia mampu menyerap rata-rata sekitar 16 miliar metrik ton CO₂ per tahun. Angka ini hampir dua kali lipat lebih besar dibandingkan dengan total emisi karbon yang dihasilkan akibat proses deforestasi, degradasi hutan, dan gangguan antropogenik lainnya, yang mencapai sekitar 8,1 miliar metrik ton CO₂ per tahun (Santhyami & Roziaty, 2022). Dengan demikian, secara keseluruhan, hutan masih memberikan kontribusi positif yang signifikan terhadap mitigasi perubahan iklim global.

2. Kontribusi terhadap Siklus Karbon Global

Dalam kondisi iklim dan aktivitas manusia yang relatif stabil, hutan dan vegetasi terestrial lainnya secara kolektif mampu menyerap sekitar 30% dari total emisi karbon antropogenik yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil setiap tahunnya (Harris & Rose, 2025). Di antara berbagai tipe hutan, hutan hujan tropis memiliki peran paling dominan dalam dinamika siklus karbon global karena tingkat produktivitas primernya yang tinggi dan luasnya wilayah penyebaran. Namun demikian, ekosistem ini juga menunjukkan variabilitas besar dalam hal penyerapan dan pelepasan karbon akibat fluktuasi iklim, peristiwa El Niño, serta tekanan antropogenik seperti konversi lahan dan pembalakan liar.

Baca Juga : Mengenal Klasifikasi Bentuk Kehidupan Tumbuhan Menurut Raunkiaer

3. Risiko Pergeseran Fungsi Ekologis Hutan

Perubahan penggunaan lahan yang masif, deforestasi yang berkelanjutan, degradasi ekosistem, serta meningkatnya kejadian kebakaran ekstrem telah menimbulkan ancaman serius terhadap kemampuan hutan untuk berfungsi sebagai penyerap karbon bersih. Bukti ilmiah terbaru menunjukkan bahwa margin antara jumlah karbon yang diserap dan yang dilepaskan oleh hutan semakin menyempit (Harris & Rose, 2025). Jika tren ini berlanjut, maka dalam beberapa dekade mendatang, hutan dunia berpotensi mengalami pergeseran fungsi ekologis dari penyerap karbon menjadi sumber emisi karbon (carbon source), yang akan memperburuk laju peningkatan konsentrasi CO₂ atmosfer dan mempercepat proses pemanasan global.

Kontribusi Hutan Tropis Indonesia dalam Upaya Mitigasi Perubahan Iklim Global

Indonesia merupakan salah satu negara megadiversitas yang memiliki tutupan hutan tropis terluas ketiga di dunia, setelah Brasil dan Republik Demokratik Kongo. Luas total kawasan hutan Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 120 juta hektar, yang mencakup kurang lebih 64% dari total luas daratan nasional (Setiawan, 2022). Keberadaan hutan tropis ini menjadikan Indonesia sebagai aktor kunci dalam mitigasi perubahan iklim global, karena ekosistem hutannya berfungsi penting dalam menyerap dan menyimpan karbon dioksida (CO₂), menjaga keseimbangan iklim regional, serta melestarikan keanekaragaman hayati yang memiliki nilai ekologis dan ekonomi tinggi.

1. Komitmen Nasional terhadap Pengurangan Emisi melalui NDC

Dalam kerangka kerja Perjanjian Paris (Paris Agreement), Indonesia telah menetapkan komitmen iklimnya melalui Dokumen Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC). Pemerintah Indonesia secara progresif meningkatkan ambisi iklimnya dari waktu ke waktu. Berdasarkan pembaruan NDC tahun 2022, Indonesia menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 43% pada tahun 2030 dibandingkan dengan skenario Business as Usual (BAU) (Dewi et al., 2024). Target ini bersifat bersyarat, yang berarti pencapaiannya bergantung pada dukungan internasional berupa pendanaan, transfer teknologi, dan penguatan kapasitas kelembagaan. Komitmen tersebut menegaskan posisi Indonesia sebagai negara berkembang yang tetap berperan aktif dalam mitigasi perubahan iklim global, sekaligus menyeimbangkan kepentingan pembangunan berkelanjutan di tingkat nasional.

2. Kepeloporan Indonesia dalam Implementasi Program REDD+

Selain melalui NDC, Indonesia juga dikenal sebagai pelopor dalam implementasi inisiatif internasional Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+), yang berada di bawah naungan Kerangka Kerja Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) (Sari & Multazam, 2021). Program REDD+ dirancang untuk memberikan insentif finansial berbasis kinerja kepada negara-negara berkembang yang berhasil mengurangi tingkat deforestasi dan degradasi hutan. Indonesia telah menjadi contoh penting bagi negara tropis lain dalam mengembangkan kebijakan dan sistem pemantauan karbon hutan, melalui penguatan tata kelola kehutanan, partisipasi masyarakat lokal, serta pengintegrasian mekanisme REDD+ ke dalam kebijakan pembangunan rendah karbon nasional. Keberhasilan implementasi program ini menunjukkan komitmen nyata Indonesia dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan konservasi lingkungan.

3. Integrasi Potensi Karbon Biru ke dalam Strategi Iklim Nasional

Selain potensi karbon dari ekosistem daratan, Indonesia juga memiliki keunggulan dalam ekosistem pesisir dan laut yang berperan sebagai penyerap karbon biru (blue carbon), seperti hutan mangrove, padang lamun, dan rawa pesisir. Pemerintah Indonesia saat ini sedang mengupayakan pengintegrasian potensi karbon biru ke dalam dokumen NDC nasional, sebagai bentuk pengakuan terhadap kontribusi signifikan ekosistem laut dalam mitigasi perubahan iklim (Jompa & Murdiyarso, 2023). Secara ilmiah, ekosistem karbon biru memiliki kapasitas penyimpanan karbon 3–5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan vegetasi daratan, karena kemampuannya menyimpan karbon tidak hanya dalam biomassa vegetatif, tetapi juga dalam lapisan sedimen pesisir yang stabil dalam jangka waktu panjang. Menurut estimasi global, ekosistem mangrove dan padang lamun Indonesia menyimpan sekitar 17% dari total cadangan karbon biru dunia (Putri et al., 2023), menjadikannya salah satu kontributor utama dalam upaya mitigasi berbasis ekosistem di tingkat internasional.

Baca Juga : Klasifikasi Habitus Tumbuhan Tropis Indonesia

Tantangan Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia

Meskipun data terbaru menunjukkan adanya penurunan tingkat kehilangan hutan primer sebesar 11% antara tahun 2023 dan 2024, fenomena deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia masih menjadi tantangan lingkungan yang sangat serius dan kompleks (Putri et al., 2024). Penurunan tersebut memang menandakan adanya kemajuan dalam upaya pengelolaan sumber daya hutan secara berkelanjutan, namun tidak serta merta menunjukkan bahwa tekanan terhadap ekosistem hutan telah berakhir. Sebaliknya, berbagai faktor sosial, ekonomi, dan kelembagaan masih terus memicu hilangnya tutupan hutan, terutama di kawasan hutan tropis dataran rendah yang memiliki nilai keanekaragaman hayati dan cadangan karbon tinggi.

1. Faktor-Faktor Pendorong Utama Deforestasi dan Degradasi Hutan

Berbagai studi menunjukkan bahwa deforestasi di Indonesia bersifat multidimensional, melibatkan kombinasi antara faktor ekonomi, kebijakan, dan perilaku sosial masyarakat. Beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap laju deforestasi dan degradasi hutan antara lain:

  • Ekspansi lahan perkebunan skala besar, terutama untuk komoditas kelapa sawit, karet, dan tebu. Proses konversi hutan alam menjadi area perkebunan monokultur sering kali dilakukan melalui pembukaan lahan secara masif, yang menyebabkan hilangnya habitat alami dan menurunkan fungsi ekosistem.
  • Aktivitas pertambangan dan eksploitasi sumber daya alam, termasuk penambangan batu bara, nikel, dan minyak bumi, yang menyebabkan fragmentasi habitat dan polusi lingkungan. Kegiatan ini kerap melibatkan alih fungsi hutan lindung menjadi kawasan industri ekstraktif.
  • Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang sering terjadi akibat praktik pembakaran untuk pembukaan lahan pertanian, diperburuk oleh kondisi iklim kering dan lemahnya pengawasan. Kebakaran tersebut tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar ke atmosfer.
  • Perambahan hutan oleh masyarakat, yang dipicu oleh tekanan ekonomi, keterbatasan akses terhadap lahan produktif, rendahnya kesadaran lingkungan, serta lemahnya sistem penegakan hukum terhadap pelanggaran kehutanan. Dalam banyak kasus, perambahan dilakukan di kawasan konservasi yang secara hukum dilindungi, sehingga memperburuk degradasi ekosistem hutan.

2. Kritik terhadap Kebijakan Pembangunan dan Risiko terhadap Komitmen Iklim

Kebijakan pembangunan nasional, khususnya yang berkaitan dengan program intensifikasi pertanian dan ekspansi lahan pangan, kerap menjadi sorotan karena berpotensi menimbulkan dampak ekologis negatif. Salah satu contoh yang banyak menuai kritik adalah program food estate (lumbung pangan) berskala besar yang dilaksanakan di berbagai wilayah, termasuk Papua dan Kalimantan. Program ini, meskipun bertujuan meningkatkan ketahanan pangan nasional, dinilai berisiko tinggi terhadap keberlanjutan ekosistem hutan, karena sebagian besar areanya mencakup hutan primer dan lahan gambut yang memiliki cadangan karbon besar.

Sebagai contoh, rencana pembangunan 2 juta hektar perkebunan tebu di Papua diperkirakan dapat melepaskan sekitar 782,5 juta ton CO₂ ke atmosfer (Fenetiruma et al., 2022). Jumlah ini merupakan angka yang signifikan dan berpotensi mengancam kredibilitas komitmen iklim Indonesia, khususnya dalam konteks pencapaian target pengurangan emisi sebagaimana tercantum dalam NDC. Para pakar lingkungan menegaskan bahwa reforestasi atau pemulihan ekosistem sekunder tidak akan mampu sepenuhnya menggantikan nilai ekologis dan fungsi karbon dari hutan alam yang hilang. Oleh karena itu, strategi pencegahan deforestasi (deforestation prevention) harus ditempatkan sebagai prioritas utama dalam kebijakan iklim nasional, dengan memperkuat pendekatan tata kelola hutan berkelanjutan, penegakan hukum yang konsisten, serta pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya hutan.

Related posts

Kerupuk Jeruju, Oleh-Oleh Khas Hutan Mangrove

Editor

Api-Api Putih (Avicennia marina)

Editor

Api-Api Bulu (Avicennia lanata)

Editor

Leave a Comment