Rumah Tani – Bogor, 19 Oktober 2023 – Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Bogor mengambil langkah proaktif dalam upaya meningkatkan daya saing produksi pertanian dalam negeri dengan menyelenggarakan Temu Penyuluh Pertanian PPPK. Acara ini dihadiri oleh seluruh alumni program Rekognisi Pembelajaran Lampau, dan berlangsung di Aula Kampus Cibalagung pada Selasa (17/10/2023). Temu Penyuluh menjadi wadah penting bagi penyuluh pertanian untuk berbagi pengalaman, bertukar ide, dan bekerja sama guna mencapai peningkatan produksi serta mewujudkan kedaulatan pangan.
Acara yang diselenggarakan secara hybrid ini juga dihadiri oleh Direktur Polbangtan/PEPI dari seluruh Indonesia, serta Kepala Pusat Pendidikan Pertanian selaku moderator. Perhelatan besar antar penyuluh pertanian ini turut mengundang Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP), Dedi Nursyamsi, sebagai pemateri sekaligus berdiskusi dalam kuliah umum.
Dalam sambutannya, Dedi Nursyamsi menyampaikan selamat kepada para penyuluh yang telah menyelesaikan pendidikan RPL di Polbangtan seluruh Indonesia. Ia menjelaskan bahwa program RPL sebenarnya merupakan amanat dari Permenpan RB no 20 tahun 2020, yang ditujukan untuk meningkatkan kapasitas para penyuluh dalam melaksanakan tugas mereka.
Dalam arahannya, Dedi menekankan pentingnya peran penyuluh dalam menggenjot daya saing produksi pertanian melalui tugas dan fungsi pokok penyuluh. Dedi membawa beberapa pertanyaan tajam kepada para penyuluh, “Kita bisa menanam kedelai, tapi mengapa lebih dari 90% tahu tempe yang kita konsumsi masih impor? Kita bisa menanam bawang putih, tapi mengapa yang kita konsumsi masih impor? Kita juga bisa memelihara sapi, tapi mengapa 90% daging sapi yang dikonsumsi masih impor dari Australia?”
Baca Juga
Dedi melanjutkan, menyatakan bahwa kedelai yang diimpor dijual dengan harga 5.000 per kilogram, sementara petani dalam negeri hanya mendapatkan keuntungan jika harga kedelai dijual seharga 7.500 per kilogram. Hal yang sama terjadi pada daging yang diimpor dengan harga 75.000 per kilogram, sementara peternak kita hanya mendapatkan keuntungan jika harga jualnya di atas 100.000 per kilogram. Dedi menjelaskan situasi ini dengan analogi dunia tinju, “Menghadapi selisih harga jualnya saja, kita sudah KO.”
Dedi juga memberikan gambaran bahwa produktivitas pertanian Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain. “Produktivitas kedelai nasional kita rata-rata hanya 1-1,5 ton per hektar, sementara di luar negeri bisa mencapai 3,8 ton per hektar. Selisihnya begitu besar, sehingga daya saing produk pertanian kita terpuruk. Kita melihat berbagai buah dan sayur bertebaran di supermarket, dan sebagian besar sudah didominasi oleh produk impor. Inilah masalah kita, daya saingnya terpukul,” ujar Dedi.